Antara Mamah Dedeh, Gender dan Feminisme
(tinjauan kritis studi Trans-Gender Mamah Dedeh dan Feminisme)
Antara Mamah Dedeh, Gender dan Feminisme
(tinjauan kritis studi Trans-Gender Mamah Dedeh dan Feminisme)
Sepintas mungkin sangat kampring atau “kampungan” kalau kita menyaksikan acara talkshow di “Mamah & Aa” yang mengusung slogan curhat dong!, seakan acara yang semuanya dihadiri oleh kaum perempuan lebih spesifik lagi ibu-ibu MT (Majelis Taklim) – kecuali pembaca acaranya yakni Aa yang diperankan oleh Abdel – hanya ditonton oleh usia lanjut dan pihak televisi yang menayangkan acara tersebut memberikan tanda 40+ di tayangan tersebut. Acara yang mengahdirkan Mamah Dedeh sebagai pemeran utama ini mendadak digandrungi oleh ibu-ibu terutama yang tergabung dalam ibu-ibu MT tadi.
***
Berbicara tentang gender, tentunya pertama kita harus sepakati dan definisikan terlebih dahulu menurut pengertian yang sebenarnya berdasarkan teks buku yang ada. Saya kutip dari Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial, dijelaskan disana gender bukan merupakan pembedaan secara jenis kelamin, mungkin selama ini kita keliru tentang definisi ini. Gender merupakan sebuah pensifatan, yakni sebuah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural . Misalnya perempuan dikenal lembut, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki cenderung kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dengan cara dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial budaya. Dan perlu diingat bahwa gender tidak sama dengan Feminisme, feminisme merupakan bagian kajian dari gender sebagai suatu konsep atau teori. Dan berbicara tentang gender, berarti tidak berbicara tentang satu jenis kelamin, melainkan dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan, berbeda jauh dengan femenisme yang selalu berbicara tentang perempuan-ansi saja.
Kita akan coba kaitakan antara bahasan Mamah Dedeh dengan gender dan feminisme. Pada intinya (yang saya pelajari) movement, kajian, dan bahasan para feminis ini selalu di dasarkan pada teori konflik atau pada konflik antara kedua sex (jenis kelamin) yakni laki-laki dan perempuan. Kalau kita tarik ke dalam hal yang lebih konkrit yaitu contoh kehidupan sehari-hari, seperti pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, dalam pekerjaan adalah siapa yang berhak menempati level top manajer, atau yang paling popular adalah diranah politik tentang keterwakilan perempuan di parlemen, eksekutif dan lembaga Negara serta lembaga politik lainnya. Mereka (kaum feminis) selalu diributkan pada hal-hal perempuan harus setara dimanapun berada itu intinya. Bagi saya perdebatan itu sudah tidak relevan lagi dan sudah basi! Karena bagi saya ketika kita tahu tentang esensi tentang pembagian peran, bagi saya tidak ada yang superior dan inferior semuanya mempunyai tugas dan peran masing-masing. Misalnya ada pertanyaan klasik yang dilontarkan oleh seorang feminis dalam sebuah diskusi yang menghadirkan tokoh agama, intinya dia mengatakan dalam islma tidak adil dalam hal pahala, laki-laki bisa mengerjakan sholat jum’at sedangkan perempuan tidak, padahal dia bilang sholat jum’at itu pahalanya banyak, bagi saya ini lucu dan pertanyaan basi, mengapa? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, ketika seseorang paham tentang ilmu dan mengetahui, urusan pahala itu mudah saja kalau contohnya sholat jum’at, ketika sang suami sholat jum’at lalu sang istri memberikan segelas air minum itu pahalanya sama seperti mengerjakan sholat jum’at kalau sang perempuan mengerti dan paham dengan hal itu, artinya pernyataan feminis tersebut gugur bahwa islam tidak adil dalam hal pahala. Dan hal yang lain dari kaum feminis adalah hanya berjalan ditempat dan tidak menghasilkan solusi yang nyata buat perempuan itu sendiri. Bandingkan dengan movement yang dilakukan oleh Mamah Dedeh dengan acara Mamah & Aa’nya. Ternyata “movement” tersebut lebih progresif, tidak jalan ditempat dan menghasilkan solusi disetiap penanyangan acaranya. Acaranya yang dianggap basi atau bahkan kampring bin kampungan oleh sebagian orang (mungkin kaum feminis) ternyata lebih solutif, dengan hanya mengundang ibu-ibu MT, tempatya pun bisa dimana saja dengan biaya yang seadanya, mampu menguatkan, memberi solusi bagi kaum perempuan atau ibu-ibu dari problemnya, dibanding hanya mengadakan seminar di hotel berbintang tentang pentingnya kesetaraan perempuan disegala bidang dengan mengundang pembicara professor women studies yang juga honornya tinggi, atau kajian-kajian tentang bagaimana membuat perempuan setara di segala aspek yang hanya memuaskan nalar para pengkajinya saja dan hanya fantasy berpikir saja.
Sederhana saja sebenranya mengidentifikasi perbedaan movement antara Mamah Dedeh dan kaum Feminis, kalau kaum feminis selalu beranjak dari teori konflik bahwa kondisi yang ada saat ini adalah inequality between man and women sehingga melahirkan gagasan dan gerakan yang seperti itu. Sedangkan Mamah Dedeh sangat sederhana saja bahkan dia (Mamah Dedeh) bukan lulusan Harvard atau Barkeley seperti para Feminis yang kebanyakan alumni dua universitas kenamaan dunia tersebut. Saya tidak tahu pasti Mamah Dedeh lulusan mana, mungkin pesantren atau sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), tapi yang jelas beliau berangkat bukan dari teori konflik atau kondisi konflik yang ada, tapi mengambil hikmah dari persoalan yang ada (konflik yang ada) prinsip put the efforts untuk jadi solusi bukan malah mengkaji dan memperlebar masalah sehingga bukan progresif melainkan jalan ditempat yang diambil dalam movement Mamah Dedeh. Dan kita sebagai manusia yang berpikir logis tentunya dapat mencerna mana yang solutif dan mana yang justru regresif. Pesan sederhana dari notes ini adalah marilah kita beralih dari ranah-ranah kajian, dialektika yang njelimet kepada ranah-rnaha lebih konkrit yang kemudian bermanfaat bagi banyak orang bukan sebagian orang kaum pemikir saja, seperti yang dicontohkan oleh Mamah dedeh.